47cm

Surga di telapak kaki ibu, katanya.

Dulu kalimat ini sering menjadi bahan candaan bersama almarhumah ibuku. Satu frase ini mendekatkan kami. Setiap kali ada ucapan demikan, di TV, atau di kultum yang bapak sampaikan, aku dan adik-adik lantas menempel ke kaki ibu. Meledek, mencari di mana surga kami. Yang akhirnya berujung ibu kami tertawa geli.

Justru karena kami percaya dan yakin bahwa ibu adalah surga kami. Karena, memang lantas kepada siapa lagi “surga” pantas disematkan kepada manusia? Tidak kurang upaya ibu, ketika mengandung, menyusui, memberi makan, dan membesarkan anak-anaknya. Pantas Rasul berpesan agar kita berbakti kepada ibu tiga kali lipat lebih banyak ketimbang bapak. Ibu itu, makhluk terlayak untuk mendapatkan tempat di pangkuan terbaik Tuhan. Meski, tentu, tak pernah kurang jerih payah bapak dalam membesarkan anaknya.

Dulu sampai di situ saja pemikiranku. Surga di telapak kaki ibu. Tentu, aku paham sekali alasannya.

Namun ketika menjadi menjadi ibu, alasan yang tadinya kuyakini ternyata dangkal. Keseharian ibuku, keluh kesahnya, kekhawatirannya, tentu bukan aku yang merasakan.

Ternyata menjadi ibu adalah marathon kekhawatiran.

Ternyata menjadi ibu adalah wujud kesepian dalam ramai.

Ternyata menjadi ibu adalah menjadi pelantun doa yang tak pernah putus. Pantas Tuhan sayang sekali pada ibuku, hingga Ia tak sabar menemuinya.

Ada kesunyian di hari-hari menemani anakku bermain. Kejenuhan ketika membacakan buku yang sama puluhan kali, pada lembar yang sama. Kesabaran yang diuji saat menghadapi resistensi, dan tangisannya yang tak kunjung reda. Kelelahan yang tak kunjung usai dalam permainan berkejar-kejaran, menunggunya membuka mulut untuk sekadar makan sesuap, mengajak mandi hingga rasanya tak perlu saja, juga menggendongnya hingga tertidur.

Atau ketika dalam gamang, harus memilih antara menurutinya atau mengajarinya menjadi manusia yang berpendirian. Ketika ia tak senang denga pilihan bajuku hari itu, atau ketika ia menyuruhku tinggal disaat aku harus pergi bekerja.

Terkadang, menjadi ibu rupanya bisa merasakan dunia runtuh dan kelam, saat setiap detiknya aku memastikan anakku baik-baik saja pada hari dimana ia sakit.

Mengingat ibuku melewati kesulitan ini, dikali tiga karena ia memiliki tiga anak, aku berpikir dari mana kekuatannya datang?

Tampaknya Tuhan tau aku mempertanyakan padaNya kekuatan untuk melalui hariku. Karena aku tak meyakini kemampuanku dan merasa tidak cukup.

Kemudian ketika aku ragu, anakku terbangun dari tidur siangnya, mencari-cari, memanggilku, memintaku menemaninya kembali tidur. Lalu ia memelukku erat.

Kemudian ketika tersadar, anakku sudah bisa kuajak berdiskusi. Ingin makan apa, ingin membaca apa, mainan apa yang disukainya, bagian apa yang ia rasakan sakit, lalu bagaimana perasaannya. Celotehnya sungguh renyah.

Kemudian anakku bisa berlari kencang, terjatuh, bangkit lagi. Ia bisa berputar-putar. Ia tertawa hingga terguling. Ia menangis dengan lantang, dan lantas meresapi perasaannya. Ia beranjak besar.

Tadinya ia adalah bayi sepanjang 47 cm.

Ah, ibu. Rupanya waktu-waktu yang Tuhan berikan terlalu berharga untuk hanya mempertanyakan: dari mana kekuatanku.

Leave a comment