DI DALAM AIR

Pernah Saya membaca tulisan bagus mengenai hubungan manusia dengan Tuhan Ceritanya mengenai 2 pasang fetus, atau janin bayi yang sedang berada di dalam kandungan ibunya. Janin A berkata bahwa dia percaya setelah keluar dari perut nanti akan bertemu dengan yang namanya ‘ibu’. Lembut akan dibelai olehnya, dan dilindungi dari hal yang membuatnya menangis. Namun janin B tidak percaya. Dia meragukan ‘ibu’, “bagaimana kau bisa yakin bahwa ada hal bernama ‘ibu’ sedang kau tidak pernah melihatnya?”. Akhir dari cerita ini mungkin bisa ditebak. Bahwa kedua janin tersebut mungkin tidak tau bahwa mereka sendiri sedang berada di dalam perut ‘ibu’.

Atau kisah mengenai ikan yang mencari air di dalam samudra tempatnya berenang. Kedua cerita ini dikaitkan dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Ada yang meragukan keberadaan Tuhan karena tidak pernah dilihat dengan mata kepalanya sendiri. Padahal dia sendiri selalu ada dalam naungan Tuhan. Persis seperti cerita janin bayi. Bahwa Tuhan tidak dapat kita lihat sudah menjadi pengetahuan umum. Tapi yakinkah kita sekarang sedang berada dalam samudranya?

Saya bukan orang yang mempunyai kapabilitas untuk berbicara tentang Tuhan. Saya cuma yakin kalau Tuhan itu ada. Dan Saya juga bukan ahli agama. Tapi Saya pikir, bukankah tiap kepercayaan memiliki keyakinan yang sama? Bahwa ada satu hal yang menjadi tempat meminta, yang berkuasa penuh atas kita, yaitu Tuhan. Mungkin nama-Nya saja yang berbeda.

Pernah juga saya membaca sebuah humor mengenai keyakinan pada Tuhan. Ada dua orang saling bertengkar, A dan B. A mengatakan bahwa B tidak dapat masuk surga karena Tuhannya melarang. B juga mengatakan bahwa A tidak bisa masuk surga karena tidak diijinkan Tuhannya. Masing-masing mengatakan Tuhannya tidak mengijinkan orang yang tidak mempercayai-Nya masuk ke surga nan indah buatan-Nya. Pertengkaran ini berlanjut saling membunuh hingga ke anak cucunya. Ironis?

Sementara di luar sana sedang menggaung kampanye untuk menghargai perbedaan, apakah diri kita sendiri sudah cukup bertoleransi? Kalau di agama Saya ada kalimat dalam kitab yang menyebutkan “bagimu agamamu, bagimu agamaku”. Apakah tidak cukup jelas firman Tuhan bahwa sebaiknya kita tidak usah ikut campur hingga murka mengenai keimanan orang lain? Saya sendiri mengutuk mereka yang menentang pembangunan suatu tempat ibadah di tempat tinggalnya. Namun Saya masih sering mengomentari teman yang tidak menjalankan ibadah. Bahkan adakah perasaan kecil dalam diri kita yang menginginkan sahabat yang berbeda keyakinan untuk memeluk iman yang sama dengan kita?

Bagaimana dengan kita yang hobi mengadili? Keyakinannya berbeda dengan Saya? Oh dia pasti kafir. Dia memakai jilbab panjang? Oh pasti dia fanatik pada agamanya. Dia tidak memakai jilbab? Oh biar dia dilaknat Tuhan. Pada akhirnya manusia akan mencari cela dari apapun yang kita lakukan. Tampaknya mengadili sudah menjadi kesenangan kita karena kita selalu merasa haus akan kekuasaan. Dan selalu ingin didengar dan dianggap benar.

Saya mencoba kembali menikmati indahnya di dalam air ini. Saya bukan orang yang suci. Saya melakukan banyak kesalahan. Namun kasih sayang Tuhan sungguh tidak ada bandingannya. Tuhan selalu memudahkan Saya, selalu memberikan jalan keluar dari keterpurukan Saya. Mudahnya, Saya masih mudah menghirup udara, mengecap makanan, dan berjalan hingga hari ini. ‘Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?’.

Saya membayangkan jika kita masing-masing menikmati kasih sayang Tuhan dengan berbagi kebahagiaan ke orang lain, dan memilih untuk bersyukur daripada mencari kesalahan orang lain, tampaknya perbedaan bukan jadi suatu masalah besar lagi. Toh di dalam samudra, hiu dan tuna tetaplah ikan.

One thought on “DI DALAM AIR

Leave a comment